Kamis, 24 April 2008

mahasiswa harus bergerak menuju pembaharuan

Babak demi babak gerakan mahasiswa telah mengisi beberapa sejarah gerakan beserta konflik politik Indonesia. Sebagian dari gerakan tersebut seperti generasi 66 dan generasi 98 mampu menciptakan perubahan sampai pada perubahan penguasa (ruler), sebagian lainnya memang tidak mampu mencapai taraf tersebut tetapi layak disebut sebagai generasi gerakan karena mampu meningkatkan eskalasi konflik dengan penguasa dengan mobilisasi massa sehingga harus direpresif dengan keras oleh penguasa. Tetapi dalam dasawarsa ini gerakan mahasiswa bukan lagi menjadi gerakan utama dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa. Setiap golongan diferensiasi masyarakat yang terkena imbas kebijakan pemerintah yang tidak populis sudah mampu untuk mengorganisasikan diri untuk melawan pemerintah. Korban Lumpur panas Sidoarjo, Petani Pasuruan yang ditembak dengan brutal oleh TNI, Masyarakat Balong, Jepara yang menolak PLTN, masyarakat perkotaan yang digusur rumahnya hingga pedagang kaki lima yang "ditertibkan" hampir di seluruh kota di Indonesia.

Gerakan perlawanan tersebut memang parsial yang terkait pada isu-isu yang spesifik dan cenderung apolitis. Tetapi kontinuitas kebijakan penguasa pro neoliberalisme yang menindas rakyat niscaya akan meningkatkan kesadaran rakyat untuk melawan kebijakan dengan dasar stratifikasi penindasan ekonomi politik (klas sosial) bukan lagi diferensiasi golongan yang sempit. Konsistensi gerakan jelas diperlukan dalam perjuangan. Tetapi untuk sampai kematangan, setiap sektor perlawanan memerlukan kontinuitas gerakan menuju persatuan masing-masing sektor. Persatuan kelompok masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial sejenis akan menemukan inti yang lebih fundamental dalam gerakan perlawanan. Contoh yang terbaru gerakan buruh mampu melewati tahapan gerakan parsial dan berhasil membentuk perlawanan buruh nasional, yaitu Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dalam melawan kebijakan neoliberalisme dalam bidang ketengakerjaan (Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Hubungan Industrial dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pesangon) dan gerakan petani juga bersiap menuju persatuan gerakan dengan memperjuangkan pembaharuan agraria dalam melawan neoliberalisme dalam bidang pertanian.

Kemajuan gerakan buruh dan petani di Indonesia saat ini ternyata tidak dialami oleh gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa semakin mengecil, terpecah-pecah, dan seperti kehilangan panggung kejayaan paska menumbangkan Suharto. Hingga saat ini masih banyak organisasi mahasiswa terilusi oleh gerakan model 98 dan mendambakannya kembali terjadi. Pada dasarnya Gerakan Mahasiswa 98 bukanlah gerakan mahasiswa yang cukup progresif. Generasi 98 kembali mengulang kesalahan generasi 66 karena pertama, merupakan gerakan moral non partisan yang tidak memiliki visi yang jelas paska perubahan dan tidak menyelesaikan perlawanan; Kedua, eksklusivitas gerakan dengan menolak bergabung dengan sektor perlawanan lainnya; Ketiga, tidak ada kematangan gerakan berdasarkan ideologi perjuangan.

Generasi 98 tidak memiliki tujuan perubahan yang jelas atas Indonesia paska Suharto, beserta rumusan gerakan untuk mencapainya. Sehingga kegagapan pun terjadi ketika tuntutan utama turunkan Suharto sudah terpenuhi. Pada generasi 66 hal ini terjadi ketika Simposium "Kebangkitan Semangat 66 Menjelajah Trace Baru" yang diselengarakan di UI pada 6-9 Mei 1966 yang konon katanya simposium terbesar yang pernah dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai inti dari angkatan 66 serta Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) ternyata tidak melahirkan suatu platform perjuangan mahasiswa ataupun platform Indonesia Paska Soekarno. Istilah Orba sendiri baru lahir pada Tri Ubaya Cakti yaitu doktrin perjuangan Angkata Darat (AD) beserta platform Indonesia Paska Soekarno yang disimpulkan pada Seminar AD II tanggal 25-31 Agustus 1966. Generasi 98 dan 66 lebih memilih untuk menjadi gerakan moral non politik partisan.

Masih segar di ingatan kita sekitar Mei 1998, Gedung MPR diduduki hanya oleh manusia yang berjaket almamater karena secara nasional generasi 98 adalah gerakan yang menolak bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat lainnya (buruh, tani dan kaum miskin perkotaan). Walaupun ada sebagian kecil kota yang sudah membangun gerakan multi sektoral. Sangat mustahil suatu gerakan revolusioner tidak dipimpin oleh pemimpin revolusioner. Sehingga radikaliasasi massa pada bulan Mei 98 menjadi kontraproduktif dengan hanya menghasilkan kerusuhan di banyak kota di Indonesia.

Di luar permasalahan internal ada beberapa kondisi obyektif pada tahun 1998 yang memaksa mahasiswa untuk kembali mengulangi kesalahan 1966 yaitu belenggu apolitisme kampus semenjak 1978 memaksa mahasiswa untuk tidak berorganisasi secara progresif sehingga koneksitas gerakan antar generasi juga tidak terjadi. Walaupun pertengahan 1997 kondisi revolusioner sudah tampak dengan krisis ekonomi beserta makin meningkatnya represi militer tetapi kematangan gerakan dengan evaluasi atas gerakan mahasiswa sebelumnya serta pembangunan ideologi gerakan sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat (banyak organisasi tersebut baru lahir sekitar pertengahan 90-an). Selain itu represi yang begitu hebat dari rezim militer Suharto memaksa mahasiswa untuk mengambil tindakan-tindakan cepat dan cenderung reaksioner yaitu melawan dengan aksi demontrasi, sehingga upaya untuk pembacaan lebih matang akan situasi ekonomi politik Indonesia beserta perumusan strategi taktik gerakan tidak dilakukan. Efeknya kemudian, Indonesia diambil alih oleh Reformis Borjuis, tetapi persatuan mahasiswa juga tidak terwujud.

Baru mulai paska 98 lahir beberapa organisasi mahasiswa nasional progresif yang terbentuk atas persatuan komite-komite aksi yang tersebar di kota-kota di Indonesia seperti Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan sebagainya. Di beberapa kota organisasi-organisasi tersebut dapat mengimbangi gerakan mahasiswa yang dipelihara selama rezim Orba berkuasa. Tetapi hanya berjarak tahunan beberapa organisasi mulai mengalami friksi internal dan kemudian terpecah-pecah kembali.

Perpecahan gerakan mahasiswa progresif merupakan sejarah yang sudah terjadi dan tidak perlu disesali dengan percuma. Ada banyak alasan kenapa organ-organ itu memisahkan diri. Tetapi perpecahan itu yang akan membuktikan bahwa gerakan mahasiswa kiri bukanlah gerakan yang akan mempertahankan simbol atau organisasi dan melupakan tujuan dan prinsip-prinsip perjuangan. Friksi dan perpecahan adalah bukti sekaligus ujian dalam dinamisasi gerakan mahasiswa progresif dalam wacana tentang gerakan dan perubahan. Dinamisasi tersebut memang anti klimaks, tetapi yang tidak bisa dihindari dari dinamisasi organ-organ tersebut adalah konsolidasi kembali dilakukan paska perpecahan. Karena konsolidasi adalah kebutuhan bersama organisasi mahasiswa yang mengaku progresif untuk menuntaskan perubahan.

Kebutuhan akan konsolidasi! bukan hanya demi pembesaran gerakan tetapi juga ujian bagi organisasi progresif yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip dan mekanisme organisasi. Perbedaan pemahaman dan wacana atas sebuah gerakan progresif dapat dijembatani dalam diskusi dan perdebatan dalam sebuah niatan konsolidasi gerakan. Konsolidasi juga dapat melahirkan sebuah organisasi yang mapan bukan hanya mampu melakukan aksi massa tetapi juga mampu melakukan pendidikan dan propanda dalam perjuangan yang terintegrasi dengan rakyat pekerja dalam perjuangan kaum buruh. Konsolidasi juga merupakan bukti kematangan sebuah gerakan mahasiswa dalam bekal menuju unifikasi gerakan rakyat dengan sektor-sektor perlawanan lainnya (buruh, tani, kaum miskin perkotaan, nelayan) dalam mewujudkan revolusi yang sesunguhnya.