Rabu, 14 Mei 2008

NASIONALISME YANG TERGADAIKAN

(Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa)*
MERDEKA…MERDEKA…MERDEKA…!!! HIDUP MAHASISWA…!!! Teriakan seperti ini mungkin sering kita dengar, bahkan mungkin juga kita sering melontarkannya. Dalam kehidupan masyarakat kampus hal-hal semacam ini adalah hal yang biasa. Sebagai mahasiswa sering kita temui yang demikian dalam forum-forum diskusi mahasiswa, komunitas mahasiswa pergerakan maupun perjuangan, lembaga dakwah kampus dll. Kemudian, apa maksud dari semua ungkapan-ungkapan tersebut..? Jawabannya tak lain hanyalah untuk menumbuhkan semangat nasionalisme kita sebagai mahasiswa yang peduli akan perkembangan, kesatuan , kemajuan, serta keagungan bangsa dan negara.
Berbicara masalah Nasionalisme, kita tidak boleh melupakan sejarah. Salah satu tokoh nasionalis kita adalah mantan presiden Soekarno, perjalanan beliau dalam memperjuangkan NKRI dengan semangat nasionalismenya yang tinggi banyak mendapat cercaan dari berbagai golongan, namun apakah beliau gentar..? tidak, beliau malah semakin tertantang, karena rasa tanggung jawab yang besar sebagai kepala negara pada waktu itu, menjadikan beliau sosok “revolusioner” sejati, bahkan beliau dikenal diberbagai penjuru dunia karena paham kebangsaan yang dianutnya serta yang diterapkannya tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, sejauh manakah peran kita dalam mewujudkan semangat nasionalisme kita sebagai mahasiswa (agent of change), dalam rangka mengisi kemerdekaan bangsa ini. Apakah hanya dengan yel-yel atau jargon-jargon “hidup mahasiswa…!!! Merdeka…!!!” cukupkah hanya dengan ungkapan-ungkapan yang demikian..? Tidak, rasa nasionalisme terbentuk tidak cukup hanya dengan teriakan-teriakan yang memekikan telinga. “Namun rasa nasionalisme terbangun ketika kita bisa masuk dan mencoba menghargai jasa para pahlawan kita, rasa nasionalisme kita bisa terbentuk ketika jiwa kita bisa menyatu dengan apa yang dialami oleh rakyat miskin dan kaum-kaum telantar. Rasa dan asa kita bisa menjadi perangai yang halus, serta budi pekerti luhur yang lurus ketika kita mau dan mencoba memperjuangkan hak dasar kita dan hak dasar mereka saudara-saudara kita kaum terpinggirkan”. Apa yang telah kita persembahkan kepada bangsa dan negara ini, apakah kita rela ketika negeri tercinta ini tercabik-cabik, terombang-ambing dan teraniaya oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah tidak lagi pro-akan rakyat.
Jika kita sadar tanggung jawab kita sebagai mahasiswa, maka kita tidak akan pernah sanggup untuk mendongakkan kepala apalagi membusungkan dada, dikarenakan terlalu berat beban yang harus kita pikul. Bukan hanya kewajiban kita kepada orang tua, untuk selalu membahagiakan dan membuat bangga orang tua (mikul dhuwur mendhem jero kahanane wong tuwa). Namun kita juga mempunyai tanggung jawab kepada proses berlangsungnya hidup bermasyarakat. Mahasiswa adalah “social control” dari setiap kebijakan-kebijakan pemerintah, artinya kita mempunyai peran penting dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang “kondusif”, sehingga hak-hak rakyat kecil dapat terpenuhi. Namun apakah realita yang terjadi di negara ini, tatanan negeri yang carut-marut, hilangnya pemerataan hak disemua sektor, pudarnya independensi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dimana-mana. Semua persoalan-persoalan itu adalah suatu permasalahan yang “urgent”. Disinilah rasa nasionalisme kita (mahasiswa) diuji, ketika masyarakat dijadikan tumbal dari kebiadaban sistem kita harus bergerak dan maju memperjuangkan hak dasar kita untuk melepaskan diri dari belenggu sistem tersebut
Kita seharusnya tahu bahwa musuh terbesar kita pada saat ini adalah kebijakan yang tersistem, bagaimana langkah awal kita dalam upaya melumpuhkan sistem tersebut sehingga nasionalisme kita bisa terbentuk kembali. Langkah konkritnya adalah kita harus menumbuhkan pribadi yang kritis, sehingga kita bisa meng-kritisi setiap kebijakan pemerintah . Meskipun demikian, ada yang lebih penting lagi yaitu memulai dari diri sendiri dengan cara memperkaya diri dengan wawasan keilmuwan, wawasan sosial dan wawasan wacana. Sebagai mahasiswa kita tidak boleh apatis, apalagi cuek dan berdiam diri, berpangku tangan menyaksikan ketidak adilan dimana-mana. Dalam kehidupan kampus banyak organisasi-organisasi ekstra yang menawarkan diri antara lain organisasi pergerakan dan perjuangan ( HMI, PMII, KAMMI, LMND, SMI dan SAPMA Pemuda Pancasila), ini merupakan kesempatan pengembangan dan pembelajaran bagi kita untuk meng-apresiasikan tanggung jawab kita kepada bangsa dan tanah air. Apapun organisasinya, kesejahteraan rakyat dan pemerataan hak dasar kita-lah tujuan akhirnya.
HIDUP MAHASISWA….!!!

Gender

April, selain bulan yang terkenal dengan segala tetek bangek kartini juga selalu dikait-kaitkan dengan istilah “GENDER”. Apa sebenarnya gender itu? Banyak diantara kita mengartikan makna gender sebagai sex atau jenis kelamin.

Sex atau jenis kelamin jelas sudah ada sebelum kita menyadari kehidupan di alam semesta ini. Sudah menjadi ketetapan sang maha pengatur alam semesta apa yang terjadi, apa yang dipilihkan buat kita yang hanya terdiri dari dua pilihan antara laki-laki dan perempuan. Sex atau jenis kelamin terjadi karena proses biologis.

Gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang dimana hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap, dan perilaku seseorang yang ia pelajari (yang pantas bagi dirinya). Namun biasanya gender kebanyakan dipengaruhi oleh lingkungan. sudah diarahkan seorang laki-laki menjadi pribadi yang kuat, tegar, tabah, dan tanggung jawab sedangkan seorang perempuan sudah seperti kodratnya memiliki sifat yang lemah lembut, pemalu, perasa dan dihadapkan dengan urusan dalam rumah.

“Persaman gender” itulah istilah yang banyak disuarakan, disosialisasikan oleh orang-orang yang tidak setuju dan tidak sependapat dengan kodrat pribadi antara kaum adam dan kaum hawa. Kaum adam yang cenderung keluar rumah dan sebaliknya kaum hawa yang berada didalam rumah.
Dari pihak hawa-lah kebanyakan istilah “persamaan gender” disuarakan, mereka tidak setuju jika hanya dijadikan ”teman wingking” ( baca teman belakang). Mereka juga ingin berperan, menyampaikan fikiran, tenaga, bahkan pendapat dalam segala aspek. dari pekerjaan yang halus, rapi hingga pekerjaan yang benar-benar dikatakan kasar.

Dalam realitasnya, peradapan sekarang tentang persamaan gender bisa dikatakan berhasil. Tidak tanggung-tanggung orang pertama di Negara kita pernah dipegang oleh kaum hawa.

Namun sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan turun juga (sedikit diperbaruhi )

Setinggi-tingginya peradapan perempuan, setinggi-tingginya jabatan perempuan, perempuan akan selalu menjadi manusia nomor dua setelah laki-laki. Karena secara kodratinya Hawa diciptakan setelah Adam. Tak akan pernah bisa dipungkiri bahwa mereka masih dibawah laki-laki. Dimanapun juga, kapanpun juga, dari mana dia dan siapa dia. Tetap dan akan selalu...............................

Integritas Pengader


“Sebagai pengader ente harus punya integritas !”. Begitu biasanya pesan yang disampaikan seorang “saudara tua” kepada “saudara muda”-nya di perkaderan HMI. Namun sejauhmana pengertian integritas tersebut dapat kita pahami?
Integritas pengader adalah….
Kesatuan dalam iman, ilmu, dan amalnya. Amal (perbuatan) seorang pengader merupakan cerminan iman beserta ilmunya. Menurut Imam Syafi’i, jika ilmu itu “cahaya” maka iman sumbernya juga sama. Ia akan berilmu dengan imannya, dan beriman dengan ilmunya. Karena itu, amal (seharusnya) adalah manifestasi keduanya.
Integritas pengader adalah….
Konsistensi antara hati, fikiran, serta kata dan sikapnya. Sikap maupun kata yang dilakukan secara sadar, adalah buah dari fikirnya. Dan fikiran mestilah selaras dengan hatinya. Hati merupakan dimensi pertama sekaligus terakhir yang menentukan nilai dari perilaku kita.
Integritas pengader adalah….
Kesinambungan masa lampau, kini, dan masa depan—dalam konteks tujuan maupun prinsip hidup
Integritas pengader adalah….
Kearifan dalam sifat dan laku. Kata seorang filosof, untuk mencapai kearifan (wisdom) kita mesti melampaui tiga tahap (fase) sebelumnya, yakni adanya data (text), memperoleh informasi (con-text), dan cukupnya seperangkat pengetahuan (knowledge).
Integritas pengader adalah….
Kesepaduan loyalitas pada jama’ah dan tujuan jama’ah. Institusi yang kita bangun, tak lain adalah sebentuk sistem yang kita manfaatkan sebagai “alat yang adiluhung” guna mengapai apa yang kita tuju. “Kebenaran haruslah tersistem, jika berkehendak mengalahkan kezhaliman yang tersistem”, demikian kira-kira pesan Imam Ali AS. Institusi adalah sistem perkaderan. Dari perkaderan lahir strategi. Dan dengan strategi, kita melakukan perjuangan. Perjuangan melawan kebathilan.
Integritas pengader adalah….
Kesepahaman akan makna “alat” dan “tujuan” hidup
Integritas pengader adalah….
Mengutamakan ummat daripada jama’ah, mengutamakan jama’ah ketimbang diri.
Lukman/Sekaran/--2006

Meretas Jalan Baru Gerakan Kaum Muda

Peta gerakan pemuda dan mahasiswa (baca : kaum muda), sebenarnya bisa diamati dalam dua-tiga dekade terakhir ini. Generasi-generasi dekade 1980-an hingga medio 1990, telah meletakkan dasar-dasar epistemologis, keilmuan, dan konsolidasi gerakan secara “tersembunyi” (underground). Term ini terbukti berhasil memberikan “ruh” untuk melakukan perlawanan intelektual terhadap represi politik yang hegemonik pada era rezim saat itu. Pada akhir 1990-an, gerakan kaum muda menemukan pijakan aksiologisnya, yakni dalam visi menuntut perubahan (reformasi) yang pada gilirannya membuat pemimpin Orde Baru untuk lengser dari tampu kekuasaan Indonesia. Sukses gerakan kaum muda bersama seluruh elemen masyarakat inilah yang kemudian menandai telah masuknya babak era baru yang dipercaya lebih demokratis.
Lalu setelah disadari bahwa reformasi 1998 kurang menyentuh pada hal-hal yang fundamental, maka gerakan kaum muda era tahun 2000 merasa perlu menyusun strategi lain untuk mengawal dengan seksama jalan awal reformasi. Konsolidasi terus diperkuat sampai dengan momentum Pemilu 2004, dengan harapan bahwa Pemilu sanggup membawa angin baru, sebagai upaya menggusur sisa-sisa watak orba yang korup, yang telah mendarah daging terutama di tingkat penyelenggara negara. Beberapa saat menjelang Pemilu tersebut, ternyata konsolidasi di basis gerakan kaum muda mengalami kebangkrutan, akibat banyaknya unsur yang larut dalam konstelasi politik kekuasaan. Gerakan kaum muda mengalami disorientasi, sehingga agenda-agenda pemberdayaan masyarakat justeru menjadi terbengkalai.
Belum lepas dari stagnasi konsolidasi, sebagian besar gerakan memandang, bahwa istilah “reformasi” haruslah diubah menjadi “revolusi”. Dengan revolusi yang sistemik diharapkan akan membawa perubahan yang lebih menyeluruh, yang diikuti oleh terbentuknya konstitusi baru yang lebih berpihak kepada rakyat, terbangunnya kesadaran sosial pada masyarakat, serta terjadi perubahan relasi kelas dalam struktur sosial. Untuk itu, konsolidasi seluruh gerakan menjadi sebuah keharusan.

Independensi
Ada nilai-nilai positif yang telah berkembang di era paska lengsernya Soeharto. Era reformasi ditandai dengan telah lebih terbukanya ruang publik ketimbang di zaman Orde Baru. Posisi-posisi publik yang lebih terbuka ini, dapat digunakan untuk “membantu” negara dalam rangka keluar dari kemelut neoliberalisme yang sedang melakukan proses stateless. Karena itu diperlukan perlawanan bersama dari negara dan rakyat terhadap kekuatan-kekuatan penyangga neoliberalistik. Artinya gerakan kaum muda saat ini memungkinkan untuk memilih suatu gerakan baru dalam pengertian yang tak hanya strategis, namun juga wilayah taktis, untuk memulai perlawanan terhadap musuh bersama (common enemys) yakni neoliberalisme yang berdimensi nasional maupun global.
Apakah ini tidak bertentangan dengan paradigma independensi gerakan yang selama ini dijunjung tinggi? Jawabannya amat relatif, sebab tergantung bagaimana gerakan kaum muda tetap mampu untuk tidak terjerumus pada watak praktisi serta kapitalistik. Dan jika motifnya memang untuk melakukan perlawanan atas tiran neolib, baik itu di tingkat masyarakat sipil (rakyat) dan masyarakat negara (pemerintahan), maka independensi tetap bisa dipertahankan. Independensi gerakan harus dimaknai secara luas, yaitu untuk meng-independensi-kan bangsa dan negara dari hegemoni neoliberalisme.

Meretas gerakan baru
Gerakan baru kaum muda, bisa dirujuk dari pola civilizational movement, yakni suatu upaya besar yang hendak mendorong seluruh kekuatan tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep civilization. Pertama, di tingkat suprastruktur, gerakan ini mengandaikan adanya bangunan ideologis yang kokoh di batin segenap anggota masyarakat. Kedua, di tingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian tingkat keilmuan (literate society) serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Ketiga, di tingkat struktur, civilizational movement mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan
Istilah civilizational movement sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah kaum intelektual di Indonesia. Ia berasal dari kata civic, civil, atau citie, yang semua mempunyai arti “kota” atau “peradaban”. Dalam konteks peradaban, pengertian ini mengandung jiwa perkotaan (citizen) dimana ditandai oleh tingginya partisipasi masyarakat, maraknya inisiatif pemikiran, tercapainya kemandirian ekonomi dan kemajuan teknologi. Maka tak salah bila kemudian konsep “gerakan kota”, menurut Naquib al-Attas (1977:15), akan mengarahkan masyarakat pada “suatu kehidupan manusia dalam ketinggian tata susila dan kebudayaan”.

Strategi gerakan
Gerakan kaum muda harus mampu menjadi martir dalam mengkonsolidasikan seluruh kekuatan civil yang berbasis sektor apapun, dan pembangunan masyarakat yang berbasis lokal. Untuk itu, hal-hal yang berkenaan dengan lokalitas perlu diperhatikan.
Dengan demikian ada beberapa strategi gerakan yang seharusnya dilakukan oleh gerakan kaum muda. Pertama, penguatan visi lokal. Penguatan visi lokal berbanding lurus dengan keinginan untuk menemukan keistimewaan lokal (local uniqueness). Di sinilah kaum muda harus bisa mencari strategi yang paling tepat, ketika berhubungan dengan pemerintahan lokal (local government). Apakah pola hubungannya dibangun secara konfliktual (vis a vis) atau dibangun di atas pondasi kemitraan (consensus), semuanya harus dipertimbangkan secara matang.
Kedua, peningkatan partisipasi lokal. Peningkatan partisipasi lokal berarti dua pengertian; pertama, partisipasi kritis, dan kedua, partisipasi kooperatif. Model partisipasi yang pertama dipakai untuk menghadapi pemerintah lokal yang korup, dan menghamba pada pemodal yang eksploitatif, sehingga dibutuhkan sikap oposisi kritis untuk mengubah struktur yang menindas tersebut. Model partisipasi yang kedua digunakan untuk menghadapi pemerintah lokal yang membutuhkan advokasi politik untuk melawan pemerintah pusat yang otoritarian atau pemodal yang eksploitatif
Ketiga, pengembangan kapasitas dan kompentensi sumberdaya lokal. Pengembangan kapasitas dan kompetensi mempunyai pengertian bahwa setiap sumberdaya manusia di tingkat lokal harus dapat diandalkan melalui pengelolaan yang baik atas semua sumberdaya di lokal tersebut.
Gerakan kaum muda yang berbasis intelektualisme serta concern pada pembelaannya atas kelompok “terpinggirkan”, tampaknya memiliki peluang baru untuk merealisasikan karakter pola civilizational movement ini. Gerakan ini harus diarahkan pada upaya menghimpun seluruh potensi sosial dari berbagai elemen masyarakat untuk menggerakkan perlawanan sistemik atas tirani kekuatan global neoliberalistik.

Menggerakkan Nasionalisme dalam Islam

Sebagian dari kita mungkin tidak menyadari tentang keunikan umat Islam bangsa ini. Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya bangsa muslim yang menggunakan aksara latin untuk bahasa nasionalnya. Selain Indonesia, semua bangsa muslim di belahan dunia mempergunakan huruf arab, kecuali dua: Turki karena nasionalisasi oleh Musthafa Kemal dan Bangladeh dengan huruf Bengali yang tetap dipertahankan sebagai bagian dari nasionalismenya.
Maka, dalam konteks ini—bagi Nurcholis Madjid (1992 : 5)—Indonesia itu sangat unik, dan termasuk komunitas muslim yang paling sedikit ter-“arab”-kan. Komunitas muslim di Indonesia berada dalam lingkungan budaya besar melayu (Malayu-Islamic Civilization). Karakter Indonesia ditunjukkan dengan model keberislaman yang begitu kaya berbagai macam citarasa kebudayaan yang pernah muncul di dunia.
Artinya dari sudut ini, untuk keislaman di Indonesia, salah satu point yang terpenting adalah bagaimana adanya penegakan moralitas kebangsaan (nationalism morality) atas nilai-nilai Islam itu sendiri.

Pendistorsian definisi
Nasionalisme dan Islam memang mempunyai definisinya sendiri-sendiri. Akan tetapi keduanya dapat berjalan dalam kepentingan positif yang sama. Adagium cinta tanah air adalah sebagian dari iman, menunjukkan prinsip yang menghargai “lokalitas ruang dan waktu” dimana bangsa itu hidup, dengan tetap mengindahkan nilai universal Islam yang rahmatan lil alamin. Namun pada riilnya, kita banyak dihadapkan persoalan politik kekuasaan—baik kepentingan penguasa negara (internal) maupun internasional.
Secara internal kenegaraan, kenyataannya makna nasionalisme acapkali terlihat sebagai sebuah proses yang ”digurui” oleh penguasa. Contohnya saja, definisi nasionalisme oleh Orde Baru tidak berangkat dari visi keindonesiaan yang terbuka. Nasionalisme di masa Orba dibangun atas perekonomian kapitalisme internasional. Menurut Orba, ekonomi adalah parameter utama bagi stabilitas politik, dan tesis itu diukur manakala Orde Lama terperosok lantaran tata perekonomian negara yang amat lemah.
Dan kekerasan sosial-politik yang dibingkai atas nama Asas Tunggal Pancasila (1985) dan kekerasan fisik oleh militerisme, benar-benar telah mengubur visi keislaman-kebangsaan dalam nasionalisme Indonesia kala itu.
Sementara di era ini, model nasionalisme ala Orba belum sepenuhnya hilang. Beberapa daerah masih ada yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Ini tentu sebuah kritik, bahwa kampanye nasionalisme oleh pemerintah kurang bersendikan pada anasir keadilan sosial. Selebihnya, definisi nasionalisme masih belum beranjak dari dominasi kekuasaan, terutama elit pemodal dan birokrat.

Kepentingan kapitalisme
Dari segi internasionalisasi, kapitalisme global berkepentingan hendak menjadikan semua bangsa di dunia sebagai—meminjam istilah Alexander Kojeve, “masyarakat homogen universal”—dalam ideologi materialisme.
Tiga strategi kapitalisme (yaitu: Ideologisasi politik melalui demokrasi liberal, cengkeraman ekonomi melalui neoliberalisme, serta penyeragaman budaya melalui pola kosumerisme) bekerja demi ke arah masyarakat tersebut. Melalui gerakan globalisasinya, potensi keanekaragaman kultural dan local wisdom, dengan sendirinya tercerabut dari akar kehidupan berbangsa kita.
Dari titik permasalahan inilah, seharusnya Islam di Indonesia hadir bukan hanya sebagai estetik simbolisasi, melainkan sebagai penguatan atas nilai-nilai etik nasionalisme dalam proses kebangsaannya.

Globalisasi vs universalisasi Islam
Universalisasi nilai Islam dan globalisasi, pada pengertian berupaya melintasi sekat-sekat apapun di belahan dunia, mungkin bisa dikatakan sama. Tetapi, keduanya saling berseberangan dalam tujuan yang ingin dicapainya.
Globalisasi mengandung ideologi materialisme yang berambisi menjadikan seluruh manusia masuk dalam kerangka pandang kapitalistik. Segalanya diukur melalui kepuasan ragawi, dan pemenuhan ekonomi ansich. Dalam konteks kejiwaan, materialisme sebenarnya tidak memerdekakan dari nafsu duniawi, melainkan pada ujungnya manusia akan terbelenggu oleh hasratnya untuk berkuasa (will to power). Secara otomatis, kerakusan pada segala hal, akan melanda manusia. Korupsi, eksploitasi alam, dan pola konsumtif, hanyalah satu dari sekian efek negatif pengaruh ideologi materialisme.
Berbeda dengan globalisasi, universalisasi Islam adalah ikhtiyar untuk menanamkan kesadaran moral pada manusia untuk menunaikan kewajibannya sebagai khalifah. Misi kekhalifahan itu bermaksud menjadikan dunia sejahtera dalam asas ketuhanan, keadaban, serta egaliterian—dan tentu saja menghargai keanekaragaman sosial budaya manusia di berbagai wilayah dunia.
Di samping itu, perlu digarisbawahi bahwa universalisasi Islam bukan bertendensi pada penyeragaman identitas beragama, melainkan umat muslim hanya berkomitmen menghadirkan nuansa keilahian bagi seluruh pluralitas bangsa.

Menggerakkan nasionalisme Islam
Semantik pendefinisian Islam niscaya mengalami penekanan implikasi yang berbeda dimana suatu bangsa itu hidup dan berkembang. Demikian pula pada definisi nasionalisme. Islam yang berarti “penyelamatan” dan nation (bhs Latin, natio) yang bermakna “tanah kelahiran”, dalam konteks kekinian, dapat disatukan misinya. Oleh karenanya, jika definisi nasionalisme Indonesia di arahkan pada usaha "menyelamatkan tanah air”, misi ini sama sekali tidak berlawanan dengan visi keislaman universal.
Untuk itu, kiranya ada dua agenda umum yang mesti dipertegas dalam konsepsi nasionalisme Islam Indonesia yakni:
Pertama, umat Islam Indonesia harus tetap menyatakan “negara ini ada”. Negara nasion Indonesia yang sudah terbukti korup, tidak serta merta lalu kita biarkan lenyap dari panggung teritorial dunia. Justeru, adalah tugas kaum muslim untuk menghapus praktik-praktik eksploitatif dan KKN dari sistem pemerintahan. Nasionalisme harus diimplementasikan pada partisipasi sosial-politik kita.
Di saat yang sama, nasionalisme di dalam Islam sepatutnya tumbuh sebagai perjuangan memperkuat pribadi yang sejati. Pribadi bangsa yang besar namun bersahaja, dan kaya kebudayaan tapi memiliki sifat welah asih yang mendalam. Bukan bangsa yang korup, tak mandiri, konsumtif, dan menjadi ekor dari kekuasaan neoliberalisme internasional, seperti saat ini.
Kedua, ruang-ruang pengambilan kebijakan publik yang terbuka saat ini dapat digunakan untuk membantu pemerintah keluar dari tekanan neoliberalisme yang sedang melakukan proses stateless. Karena itu, diperlukan perlawanan bersama (common platform) dari seluruh elemen bangsa (nations) terhadap kekuatan-kekuatan penyangga neoliberalistik.
Lebih lanjut, nasion Indonesia harus dimaknai sebagai medan jihad dalam berislam. Agama Islam memang tidak mengenal batas-batas teritorial dalam perjuangannya. Namun sebagai wilayah bangsa muslim terbesar di dunia, Indonesia pantas dibela sebagai konsep iman yang mencakup cinta pada tanah air. Artinya, nasionalisme diperkuat di ”medan teritorial” Indonesia dalam kerangka dakwah Islam yang bervisi mensejahterakan alam semesta.