Jumat, 09 Mei 2008

Training Revolusi Kesadaran

Lihatlah tujuan tertinggi hidup manusia:

Meraih suatu keadaan di mana tak ada lagi yang terlihat, kecuali Tuhan

(Sa’di)

Dalam banyak hal, training (pelatihan), adalah sebuah bagian dari model pendidikan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk membuat peserta menguasai atau terlatih pada ilmu tertentu.

Sifat training adalah mengubah suatu pola kebiasaan menjadi pola yang berbeda dalam waktu yang singkat dalam hal pemahaman dan ketrampilan. Karenanya pengondisian (manajemen) forum ini demikian penting. Tujuannya adalah duplikasi sehingga peserta mempunyai budaya baru sebagaimana misi training tersebut. Menilai suatu training apakah manusiawi atau tidak bergantung pada apa visi penyelenggaraan acara tersebut dan bukan sekadar pada pola dan metode yang diberlakukan.

Kebanyakan training hanya mempunyai visi material seperti pada ketahanan fisik dan ketrampilan alat, sehingga yang terlahir adalah keseragaman gerak dan tingkah menuju ketaatan dan kesatuan korps. Seperti ospek atau latihan militer. Solidaritas grup ditandai dengan mencari oposisi biner, lawan-kawan, sehingga menongolkan slogan-slogan aneh, seperti: “Semua mahasiswa salah kecuali anggota himpunan, dan semua himpunan salah kecuali himpunan kita sendiri”, “Hanya ada dua peraturan: 1. Yang benar itu senior; 2. Bila senior salah, kembali ke poin satu”, “Dahulukan syahwat ketua!”

Tidak heran bila aktualiasasi kegiatan ini marak dengan kekerasan, baik fisik maupun psikis. Kesalahan yunior yang terbesar ada ia tercipta sebagai yunior, dan dosa itu hanya bisa dihapus dengan taat buta kepada senior. Sama sekali tidak ada iklim intelektualnya. Maka boleh dikatakan, training yang tujuannya adalah sekadar mendisiplinkan tubuh peserta sama seperti pelatihan agar anjing untuk dapat berjalan dengan dua kaki. Yang didisiplinkan adalah otot dan gerak instingtif, bukan pikiran.

Maka, training yang benar adalah yang memanusiakan manusia, yang mengedepankan intelektualitas, yang membuat manusia mempunyai pemahaman dan wawasan baru. Pada domain inilah sistem pencerahan ini diawali kata “Training”.

Sedangkan kata “Revolusi” mengacu pada pahaman bahwa segala sesuatu itu hakikatnya bergerak, berubah, menyempurna. Karena pergerakan itu peralihan dari potensialitas ke aktualitas, maka sesuatu pun hakikatnya adalah baru dan menjadi. Tidak ada sedikit pun jejak lama. Dalam konteks sosial, revolusi adalah perubahan radikal tentang segala pahaman dan perilaku yang selama ini sudah dianggap sebagai kodrat dan sewajarnya demikian.

Padanan Training dan Revolusi melahirkan sebuah konsep pendidikan non-kompromistis, yang radikal dan mendasar. Perubahan menuju apa?

Perubahan sekadar pada alat produksi tidak menjamin dan menjawab kesejahteraan dan kebahagiaan universal manusia. Inti pemaknaan atas segala nilai terletak pada Kesadaran (consciousness) yang hakikatnya adalah eksistensi itu sendiri.

Sehingga, Training Revolusi Kesadaran (TRK) adalah sebuah sistem pendidikan yang didasarkan pada kemampuan seorang insan mengontrol pikiran-tindakan-sikapnya dalam kerangka nilai-nilai universalnya dalam menyikapi realitas sosial-kebudayaannya. Ia lahir bukan untuk meniru orang lain karena manusia bukan binatang. Ia belajar untuk menjadi dirinya sendiri yang punya karakteristik unik dan merdeka dalam menentukan peran hidupnya.

Dengan melihat tujuan dan bagaimana pola pembentuknya, sistem TRK ini sangat sensitif terhadap tindak eksploitasi tubuh dan pikiran, atas nama apa pun. Tidak heran, musuh utama TRK adalah primordialisme, feodalisme, dan militerisme. Primordialisme adalah eksploitasi eksistensi atas nama ikatan darah, almamater, agama, dan golongan. Feodalisme adalah mistifikasi struktur sosial. Militerisme adalah eksploitasi tubuh.

Rangka bangun TRK adalah sistem pendidikan yang bertopang pada lima pilar: a) logika, b) filsafat, c) teologi pluralis, d) sosiologi, e) mistisisme/esoterisme, yang saling mengikat, disajikan dalam bentuk kajian, dengan tujuan-tujuan khas.

Logika adalah tentang cara berpikir benar yang menumpu seluruh landasan pengetahuan manusia. Ini adalah kajian rutin mingguan, minimal 6 bulan (16 kali permukaan), yang tidak bisa dijadikan paket sekali waktu, tidak bisa diikuti setengah-setengah atau sesukanya. Siapa pun yang tidak selesai menempuh tahap ini dipastikan gagal. Berdasarkan pengalaman di lapangan, banyak orang baik yang salah mengeluarkan kebijakan karena tidak bisa memahami realitas.

Kajian filsafat adalah tahap kedua, bicara tentang tema-tema inti semesta pemikiran manusia. Disajikan tanpa penyejarahan dan alfabetis sehingga setiap peserta terlibat dalam setiap wacana yang dihidangkan, juga tidak terjebak pada data/ensiklopedis.

Setelah kita mempunyai pondasi pikir dan kerangka umum yang utuh tentang pandangan dunia, kajian teologi pun adalah halte pemikiran selanjutnya. Teologi dalam sistem kajian ini tidak memihak pada form agama tertentu melainkan menelisik pada nilai-nilai universal agama. Alih-alih menjadi fundamentalis dan eksklusif, kajian teologi pluralis ini membuat dimensi kasih Tuhan dalam citra manusia bisa meluas ke segala unsur di alam ini. Ia bukan dogma, dan tidak berhenti pada agama atau mazhab tertentu.

Kajian sosiologi baru dipaparkan setelah peserta berhasil membumikan alam abstraksi (logika, filsafat) dan dialektika personalnya (teologi) dalam ranah kemasyarakatan (sosiologi). Wilayah ini adalah medan pembuktian segala teori radikal yang diterima sebelumnya. Segala klaim kebenaran dan keakuan personal diuji dalam ranah ini. Ketika tidak bisa mengaktual, bisa dipastikan bahwa nilai-nilai yang dipelajarinya dalam kajian logika, filsafat, dan teologi diperoleh dengan mimikri, taat buta. Kita tidak butuh orang pintar hafalan. Yang dibutuhkan di alam ini adalah manusia organik yang bisa mengaktualkan pengetahuannya dalam struktur kesadarannya.

Sedangkan mistisisme adalah proses perenungan kembali, recharge, dari segala aktivitas duniawi, pemaknaan ulang atas segala hal yang telah dikonsepsikan selama ini. Kajian ini akan membongkar segala klaim kebenaran yang berasal dari sisa-sisa peradaban primitif yang ditegakkan dengan kekuatan otot, bukan otak. Kajian esoterisme ini diletakkan di level terakhir mengingat rentannya klaim-klaim mistis. []

Note: Training Revolusi Kesadaran (TRK) disajikan di kalangan mahasiswa, buruh dan lintas agama di berbagai daerah sejak tahun 2004. Setiap level terdiri 10 materi @ 2 jam disajikan dalam bentuk kajian mingguan. TRK telah dipraktikkan secara intensif, biasanya dipadatkan selama 3 hari (dari jam 08:00-24:00). Tujuan materi akan tercapai bila peserta juga memperkaya diri dengan membaca, diskusi, dan aksi sosial

Tidak ada komentar: