Rabu, 14 Mei 2008

Menggerakkan Nasionalisme dalam Islam

Sebagian dari kita mungkin tidak menyadari tentang keunikan umat Islam bangsa ini. Indonesia dapat dikatakan merupakan satu-satunya bangsa muslim yang menggunakan aksara latin untuk bahasa nasionalnya. Selain Indonesia, semua bangsa muslim di belahan dunia mempergunakan huruf arab, kecuali dua: Turki karena nasionalisasi oleh Musthafa Kemal dan Bangladeh dengan huruf Bengali yang tetap dipertahankan sebagai bagian dari nasionalismenya.
Maka, dalam konteks ini—bagi Nurcholis Madjid (1992 : 5)—Indonesia itu sangat unik, dan termasuk komunitas muslim yang paling sedikit ter-“arab”-kan. Komunitas muslim di Indonesia berada dalam lingkungan budaya besar melayu (Malayu-Islamic Civilization). Karakter Indonesia ditunjukkan dengan model keberislaman yang begitu kaya berbagai macam citarasa kebudayaan yang pernah muncul di dunia.
Artinya dari sudut ini, untuk keislaman di Indonesia, salah satu point yang terpenting adalah bagaimana adanya penegakan moralitas kebangsaan (nationalism morality) atas nilai-nilai Islam itu sendiri.

Pendistorsian definisi
Nasionalisme dan Islam memang mempunyai definisinya sendiri-sendiri. Akan tetapi keduanya dapat berjalan dalam kepentingan positif yang sama. Adagium cinta tanah air adalah sebagian dari iman, menunjukkan prinsip yang menghargai “lokalitas ruang dan waktu” dimana bangsa itu hidup, dengan tetap mengindahkan nilai universal Islam yang rahmatan lil alamin. Namun pada riilnya, kita banyak dihadapkan persoalan politik kekuasaan—baik kepentingan penguasa negara (internal) maupun internasional.
Secara internal kenegaraan, kenyataannya makna nasionalisme acapkali terlihat sebagai sebuah proses yang ”digurui” oleh penguasa. Contohnya saja, definisi nasionalisme oleh Orde Baru tidak berangkat dari visi keindonesiaan yang terbuka. Nasionalisme di masa Orba dibangun atas perekonomian kapitalisme internasional. Menurut Orba, ekonomi adalah parameter utama bagi stabilitas politik, dan tesis itu diukur manakala Orde Lama terperosok lantaran tata perekonomian negara yang amat lemah.
Dan kekerasan sosial-politik yang dibingkai atas nama Asas Tunggal Pancasila (1985) dan kekerasan fisik oleh militerisme, benar-benar telah mengubur visi keislaman-kebangsaan dalam nasionalisme Indonesia kala itu.
Sementara di era ini, model nasionalisme ala Orba belum sepenuhnya hilang. Beberapa daerah masih ada yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Ini tentu sebuah kritik, bahwa kampanye nasionalisme oleh pemerintah kurang bersendikan pada anasir keadilan sosial. Selebihnya, definisi nasionalisme masih belum beranjak dari dominasi kekuasaan, terutama elit pemodal dan birokrat.

Kepentingan kapitalisme
Dari segi internasionalisasi, kapitalisme global berkepentingan hendak menjadikan semua bangsa di dunia sebagai—meminjam istilah Alexander Kojeve, “masyarakat homogen universal”—dalam ideologi materialisme.
Tiga strategi kapitalisme (yaitu: Ideologisasi politik melalui demokrasi liberal, cengkeraman ekonomi melalui neoliberalisme, serta penyeragaman budaya melalui pola kosumerisme) bekerja demi ke arah masyarakat tersebut. Melalui gerakan globalisasinya, potensi keanekaragaman kultural dan local wisdom, dengan sendirinya tercerabut dari akar kehidupan berbangsa kita.
Dari titik permasalahan inilah, seharusnya Islam di Indonesia hadir bukan hanya sebagai estetik simbolisasi, melainkan sebagai penguatan atas nilai-nilai etik nasionalisme dalam proses kebangsaannya.

Globalisasi vs universalisasi Islam
Universalisasi nilai Islam dan globalisasi, pada pengertian berupaya melintasi sekat-sekat apapun di belahan dunia, mungkin bisa dikatakan sama. Tetapi, keduanya saling berseberangan dalam tujuan yang ingin dicapainya.
Globalisasi mengandung ideologi materialisme yang berambisi menjadikan seluruh manusia masuk dalam kerangka pandang kapitalistik. Segalanya diukur melalui kepuasan ragawi, dan pemenuhan ekonomi ansich. Dalam konteks kejiwaan, materialisme sebenarnya tidak memerdekakan dari nafsu duniawi, melainkan pada ujungnya manusia akan terbelenggu oleh hasratnya untuk berkuasa (will to power). Secara otomatis, kerakusan pada segala hal, akan melanda manusia. Korupsi, eksploitasi alam, dan pola konsumtif, hanyalah satu dari sekian efek negatif pengaruh ideologi materialisme.
Berbeda dengan globalisasi, universalisasi Islam adalah ikhtiyar untuk menanamkan kesadaran moral pada manusia untuk menunaikan kewajibannya sebagai khalifah. Misi kekhalifahan itu bermaksud menjadikan dunia sejahtera dalam asas ketuhanan, keadaban, serta egaliterian—dan tentu saja menghargai keanekaragaman sosial budaya manusia di berbagai wilayah dunia.
Di samping itu, perlu digarisbawahi bahwa universalisasi Islam bukan bertendensi pada penyeragaman identitas beragama, melainkan umat muslim hanya berkomitmen menghadirkan nuansa keilahian bagi seluruh pluralitas bangsa.

Menggerakkan nasionalisme Islam
Semantik pendefinisian Islam niscaya mengalami penekanan implikasi yang berbeda dimana suatu bangsa itu hidup dan berkembang. Demikian pula pada definisi nasionalisme. Islam yang berarti “penyelamatan” dan nation (bhs Latin, natio) yang bermakna “tanah kelahiran”, dalam konteks kekinian, dapat disatukan misinya. Oleh karenanya, jika definisi nasionalisme Indonesia di arahkan pada usaha "menyelamatkan tanah air”, misi ini sama sekali tidak berlawanan dengan visi keislaman universal.
Untuk itu, kiranya ada dua agenda umum yang mesti dipertegas dalam konsepsi nasionalisme Islam Indonesia yakni:
Pertama, umat Islam Indonesia harus tetap menyatakan “negara ini ada”. Negara nasion Indonesia yang sudah terbukti korup, tidak serta merta lalu kita biarkan lenyap dari panggung teritorial dunia. Justeru, adalah tugas kaum muslim untuk menghapus praktik-praktik eksploitatif dan KKN dari sistem pemerintahan. Nasionalisme harus diimplementasikan pada partisipasi sosial-politik kita.
Di saat yang sama, nasionalisme di dalam Islam sepatutnya tumbuh sebagai perjuangan memperkuat pribadi yang sejati. Pribadi bangsa yang besar namun bersahaja, dan kaya kebudayaan tapi memiliki sifat welah asih yang mendalam. Bukan bangsa yang korup, tak mandiri, konsumtif, dan menjadi ekor dari kekuasaan neoliberalisme internasional, seperti saat ini.
Kedua, ruang-ruang pengambilan kebijakan publik yang terbuka saat ini dapat digunakan untuk membantu pemerintah keluar dari tekanan neoliberalisme yang sedang melakukan proses stateless. Karena itu, diperlukan perlawanan bersama (common platform) dari seluruh elemen bangsa (nations) terhadap kekuatan-kekuatan penyangga neoliberalistik.
Lebih lanjut, nasion Indonesia harus dimaknai sebagai medan jihad dalam berislam. Agama Islam memang tidak mengenal batas-batas teritorial dalam perjuangannya. Namun sebagai wilayah bangsa muslim terbesar di dunia, Indonesia pantas dibela sebagai konsep iman yang mencakup cinta pada tanah air. Artinya, nasionalisme diperkuat di ”medan teritorial” Indonesia dalam kerangka dakwah Islam yang bervisi mensejahterakan alam semesta.

Tidak ada komentar: